Hikmah Kehidupan Blog

Home » hikmah » Apakah Tuhan adil dalam masalah sosial?

Apakah Tuhan adil dalam masalah sosial?

       IMG_2742  Sekali lagi, Tuhan itu adil dalam masalah apapun bagi orang-orang yang sadar dengan fitrahnya. Akan tetapi, Tuhan tidak adil bagi orang-orang yang tidak sadar dengan fitrahnya. Didalam Islam sendiripun, yang beriman adanya Tuhan, terkadang  menganggap bahwa Tuhan itu tidak adil. Karena kenapa? Karena adanya perbedaan dari sisi sosial. Sebenarnya, perbedaan sosial bukanlah suatu yang sedikit-sedikit kita sandarkan kepada Allah Swt. Jangan sampai kita lupa, Allah Swt memberi kita ikhtiyar (kehendak bebas). Kebanyakan manusia yang tidak menggunakan kesadaran fitrahnya berpendapat bahwa Allah Swt memberikan ikatan jabr (determinasi) terhadap ciptaan-Nya. Tidak, Allah Swt tidak mengikat makhluk-Nya dengan jabr (determinasi). Begitupula dalam masalah sosial dan ekonomi. Di kehidupan ini, manusia bebas memilih apa yang dia butuhkan, bahkan apa yang dia inginkan sekalipun. Manusia memilih dengan pilihan mereka sendiri. Akan tetapi jika pilihan yang dia dapatkan menurut dia tidak begitu membuat dia merasa puas dan senang dan bahkan membuat dia menderita, maka mulailah dia menyandarkan bahwa Tuhan itu tidak adil. Seperti itulah sebagian manusia, mereka tidak berfikir bahwa itu adalah pilihannya sendiri.

        Ada sebuah contoh dalam masalah sosial, yaitu didalam perbedaan sosial antara Islam dan Barat, yang beriman kepada Allah Swt dan yang tidak beriman kepada-Nya. Orang Islam beriman kepada Allah Swt, akan tetapi, hidupnya banyak yang menderita, miskin, berkekurangan dari segi finansial, dan lain-lain yang seperti kita ketahui bersama. Jika dibandingkan dengan kehidupan Barat, mereka hidup makmur, kaya,  tidak kekurangan dari segi finansial, negaranya maju, sangat sedikit yang miskin.

        Dari sini bisa kita lihat bahwa Tuhan tidak adil. Dia membiarkan orang-orang yang beriman kepada-Nya miskin, menderita, berkekurangan dari segi ekonomi dan membuat orang  yang tidak beriman kepada-Nya kaya, makmur, serba berkecukupan dari segi ekonomi, hidupnya enak tidak seperti orang Islam yang beriman kepada-Nya.

       Muncullah pertanyaan, apakah Tuhan adil dalam masalah tersebut? Yang harus kita ketahui dahulu adalah bahwa semua perbuatan manusia itu tidak terlepas dari yang namanya ikhtiyar (kehendak bebas). Apa yang mereka dapatkan itu adalah dari pilihan mereka sendiri dan tidak ada keterpaksaan dari Tuhan sedikitpun.

        Manusia bebas dalam menentukan pilihannya dan tindakannya, terlepas dari tekanan dan paksaan dari pihak mana pun. Tuhan tidak mencampuri sama-sekali manusia dalam menentukan tindakan dan pilihannya. Karena seseorang bebas menentukan pilihannya dalam setiap kehendaknya, – yakni dengan suatu kehendak yang bebas dan mandiri (free will) -, maka layak baginya balasan atas perbuatan baiknya maupun perbuatan jahatnya, ini berarti ranah kekuasaan-Nya atas kehidupan manusia terbatas. Artinya Ia tidak bersifat Mahakuasa.

       Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa Islam itu sebagian besar miskin-miskin sementara orang barat yang tidak beriman kepada Allah Swt kaya-kaya, yaitu:

  • Kurangnya ilmu pengetahuan.
  • Sedikitnya usaha dan selalu ingin yang namanya instan atau tidak mau repot-repot.
  • Tidak adanya keinginan untuk maju dan bangkit.
  • Masuknya para penjajah ke Indonesia dan menjajahnya, serta mengambil apa yang mereka butuhkan dan membiarkan orang-orang Islam mati kelaparan dan menderita, dan lain-lain.
  • Kesadaran fitrah manusia menolak jabr (determinisme)

       Manusia di dunia, apakah dia beragama atau atheis, manusia jaman dulu atau jaman modern, yang kaya dan yang miskin, manusia dari negeri maju ataupun negeri yang tertinggal, semua percaya bahwa hukum harus mengatur dan berkuasa pada masyarakat dan individu-individu anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan siapa pun yang melanggar hukum dan tatanan harus memperoleh suatu sanksi sebagai konsekuensi.

      Ini jelas merupakan suatu pemahaman yang berlandaskan pada kenyataan bahwa seorang manusia memiliki kehendak bebas (free will) dalam memilih dan melaksanakan tindakan-tindakannya, dan tidak dikendalikan oleh “tangan-tangan gaib” di luar dirinya. Sehingga, oleh karena itu, ia menjadi patut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

        Kesepakatan seluruh manusia akan perlunya hukum, jelas menjadi bukti bahwa fitrah manusia sadar bahwa pemahaman jabr (determinisme) keliru, dan fitrah manusia sadar bahwa dirinya dikaruniai kebebasan memilih tindakan-tindakannya. Karena ia benar-benar bebas memilih tindakan-tindakannya, maka adalah layak baginya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.

Kehendak Bebas Manusia Tidak Berkontradiksi Dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Mahapemurah.

       Perenungan akan kesadaran diri dan kehendaknya serta tindakannya menetapkan bahwa kita benar-benar bebas memilih tindakan yang hendak kita lakukan. Ini menetapkan bahwa tindakan kita benar-benar atas dasar kehendak kita sendiri yang bebas, tanpa paksaan “tangan-tangan gaib” dari luar diri kita, secara mandiri.

        Di tinjau dari sisi lain, perbuatan kita, adalah bagian dari al-wujudat al-imkaniyyah (keberadaan-keberadaan yang mungkin) , tidak ada bagian mana pun dari semesta yang tidak beremanasi dari Wajib al-Wujud. Dari sisi ini, seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita tidak terlepas dari dan adalah beremanasi dari Al-Wahid Al-Qahhar, – yakni Dia Yang Mahasempurna dalam Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya.

       Kenyataan bahwa seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita beremanasi dariNya, sama sekali tidak mengurangi makna dan realitas kemandirian dan kehendak bebas kita pada saat melakukan suatu tindakan. Maka tidak ada kontradiksi antara kehendak bebas manusia dan Kemahakuasaan-Nya.

       Bahwa perbuatan manusia adalah benar-benar berdasarkan kehendak bebasnya dan ditinjau dari sudut pandang lain sama sekali tidak terlepas dari KemahakuasaanNya adalah pemahaman yang benar. Pemahaman ini biasanya disebut al-amru bayna al-amrayn , yakni bukan jabr (determinisme) murni, bukan pula tawfidh (pelimpahan) murni, namun sesuatu yang lain dari keduanya.

    Jadi disini adalah bahwa Tuhan tidak mencampuri urusan manusia dalam kehendaknya. Semua pilihan itu murni dari manusia itu sendiri. Ketika kita mengambil pilihan dan ternyata pilihan yang kita dapatkan tidak begitu memuaskan, maka kita harus terima apa adanya. Begitu pula sebaliknya, jika kita dengan pilihan kita mendapatkan kenikmatan yang membuat kita merasa bahagia, maka kita sebagai orang yang beriman harus bersyukur.

 


1 Comment

  1. John Ali says:

    Bagus bangeeet artikelnyaa😊.
    Semakin saya membaca blog ini, semakin bertambah pengetahuan saya.
    Makasih banget yah admin😍.

    Like

Leave a comment